Selasa, 12 Mei 2020

KEHEBATAN KESULTANAN ACEH DI ABAD KERAJAAN SULTAN ISKANDAR MUDA

   Fadhlullah Bin Jamil, sejarawan Malaysia pada seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara di Rantau Kuala Simpang 25-30 September 1980, dalam makalahnya “Kerajaan Aceh Darussalam dan Hubungannya dengan Semenanjung Tanah Melayu” menjelaskan, setelah Sulthan Alauddin Riayat Syah digulingkan, kerajaan Aceh tak pernah aman selama tiga tahun. Dalam keadaan yang huru-hara itu Iskandar Muda muncul sebagai orang kuat baru yang mampu mematahkan serangan Portugis ke Aceh. Setelah keberhasilannya itu Iskandar Muda melakukan kudeta dan kemudian berhasil mendapat pengakuan dari para ulama dan petinggi kerajaan sebagai sulthan baru.
Lukisan armada perang kerajaan Aceh di Selat Malaka
Fadhullah merujuk pada tulisan Zakaria Ahmad dalam buku “Sekitar Kerajaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675, terbitan Manora, Medan (1972). Dalam makalahnya itu ia menulis:
“...Setelah berhasil mentasbilkan kedudukannya, Iskandar Muda dengan bala tentara Aceh yang diperkuatnya itu telah bertindak menggabungkan mana-mana daerah yang telah menarik diri atau bernaung dengan Johor. Sebagai permulaannya, baginda merebut kembali Aru dari Johor. Kemudian secara berturut-turut baginda menawan Rokan dan Kampar. Tindakan ini diambil untuk membalas dendam terhadap sikap Johor yang mencabuli perairan Aceh dan mengadakan perjanjian persahabatan dengan Portugis di akhir tahun 1610 Masehi...”
  Memasuki tahun 1612, Sulthan Iskandar Muda menutup seluruh bandar lada di Sumatera bagi Portugis, hingga mereka harus membeli lada ke Pattani. Setahun kemudian (1613) Sulthan Iskandar Muda menyerang Johor. Dalam penyerangan itu Batu Sawar sebagai ibu kota Johor dihancurkan beserta bentengnya. Sulthan Iskandar Muda menawan keluarga dan petinggi istana Johor serta membawanya ke Aceh sebagai tawanan. Sementara Sulthan Johor Alauddin Riayat Syah III melarikan diri ke Bintan.
  Tentang peristiwa itu Fadhullah menjelaskan, setelah penaklukan tersebut Sulthan Iskandar Muda mengatur Kerajaan Johor menurut kehendaknya. Ia menggangkat Raja Abdullah adik Sulthan Johor sebagai raja Johor yang baru. Pengangkatan itu dilakukan di Aceh. Setelah upacara pengangkatan, Sulthan Abdullah dikirim kembali ke Johor untuk memerintah kerajaannya. Meski demikian untuk mengontrol kekuasaan Sulthan Abdullah dibentuk badan pengawas yang terdiri dari orang-orang Aceh di bawah pimpinan Raja Lelawangsa. Tentang hal itu Fadhullah menulis:
“...Untuk mengeratkan hubungan kedua kerajaan itu, Raja Abdullah telah dikawinkan dengan adik Iskandar Muda. Lantaran itu buat sementara waktu, Johor telah menyebelahi Aceh dalam pertikaiannya dengan Portugis. Kemudian pada pertengahan tahun 1614, Iskandar Muda telah membenarkan Sulthan Alauddin Riayat Syah III untuk kembali ke Batu Sawar, setelah sulthan itu bersetuju untuk membantu Aceh dalam perangnya dengan Portugis dan mencegah pihak Belanda (VOC) dari berniaga di daerah Johor...”
   Namun tak lama kemudian karena desakan ekonomi, Sulthan Johor mengizinkan Belanda untuk berdagang di negerinya. Karena itu Sulthan Iskandar Muda menjemput Raja Abdullah untuk berunding mengenai kedudukan Belanda di Johor, serta mengatur rencana menyerang Portugis di Malaka, tapi perundingan itu gagal karena Sulthan Johor selain mengizinkan Belanda beniaga di daerahnya juga sudah memihak dan menjalin kerjasama dengan Portugis. Hal ini membuat hubungan antara Kerajaan Aceh dengan Johor kembali tegang.
   Pada 1615, Sulthan Iskandar Muda kembali menyerang Johor. Batu Sawar dihancurkan, Sulthan Alauddin III ditawan dan dibawa ke Aceh, ia dibunuh karena menolak bekerja sama. Sementara Raja Abdullah yang dinobatkan sebagai Sulthan Abdullah Ma’ayat Syah melarikan diri ke Riau dan meninggal pada bulan Mei 1623 di Pulau Tambelan, salah satu pulau diantara gugusan pulau di Riau.
Kemudian pada tahun 1618, Sulthan Iskandar Muda menggempur Pahang. Keluarga raja Pahang termasuk Raja Mughal ditawan dan dibawa ke Aceh bersama Putroe Phang yang kemudian menjadi istri Sulthan Iskandar Muda. Sementara Raja Mughal dinikahkan dengan Safiatuddin, putri Sulthan Iskandar Muda. Raja Mughal inilah yang kemudian pada tahun 1636 dinobatkan sebagai pengganti Sulthan Iskandar Muda dengan gelar Sulthan Iskandar Tsani.
   Pada waktu yang sama 10.000 rakyat Pahang diangkut ke Aceh sebagai tenaga kerja. Setahun kemudian (1619) giliran Kedah yang ditaklukkan oleh Sulthan Iskandar Muda. Kebun-kebun lada di Kedah dimusnahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selalu sport saya dalam menulis trims